Selasa, 03 November 2009

KOMPONEN-KOMPONEN CANDI

Hand-Out
Mata Kuliah HIS 413 Sejarah Kebudayaan




KOMPONEN-KOMPONEN CANDI







Disusun oleh :
Drs. Ismail Lutfi
NIP. 131998961






UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SEJARAH
2000
TEORI FUNGSI CANDI
Teori yang dikeluarkan oleh para peneliti candi di Indonesia kebanyakan berpangkal pada fungsi atau kegunaan religius dari candi/bangunan kuna yang dianggap sebagai candi. Artinya candi dalam hal ini adalah sebagai konsep, bukan sebagai sekadar sebutan. Lebih dari itu, perihal fungsi candi masih dapat dikembangkan lagi tidak sebatas religius tetapi juga estetis, politis, sosial dan kultural. Teori yang telah dikeluarkan itu antara lain sebagai berikut :
Candi sebagai makam atau penanaman abu jenasah.
Pendukung teori ini adalah : Raffles, Wardenaar, Brumund, Van hoevel, Groneman, dan Yzerman.
Tokoh lain yang kurang atau tidak mendukung teori ini antara lain N J Krom dan Quaritch Wales.
Candi dapat berfungsi ganda yaitu sebagai makam dan sebagai tempat pemujaan/kuil.
Teori ini dikemukakan oleh Martha A Musses.
Candi sebagai tempat pemujaan saja (kuil).
Teori yang terakhir ini dikemukakan oleh Soekmono.

BANGUNAN KUNA YANG DISEBUT CANDI
Dalam Arkeologi pengertian istilah candi adalah berupa bangunan yang dikaitkan dengan teori di atas, bahkan telah berkembang pengertian itu sehingga kata candi itu dipakai untuk menyebut bangunan petirtaan, misalnya : Jalatunda, Belahan, Candi Tikus, Komplek Gua Gajah; dan gapura-gapura misalnya: Bajang Ratu, Wringin Lawang, Plumbangan, dll.

CANDI SECARA UMUM
Penamaan Candi
Nama yang dipakai untuk menyebut candi itu bermula dari beberapa cara penamaan yaitu:
Candi dinamakan sesuai dengan nama yang disebutkan dalam prasasti yang diduga ada hubungannya dengan candi tersebut.
Penamaan candi berdasarkan nama desa atau daerah dimana candi itu berada.
Nama candi diambil menurut nama yang diberikan oleh penduduk disekitar lokasi candi.

Susunan atau Tata Letak Candi
Memusat --- contohnya candi Prambanan
Membelakang, semakin ke belakang --- contoh candi Sukuh, Jago, Penataran
Dihadap candi perwara --- contoh candi Sambisari, Gunung Wukir
Berjajar kesamping --- contoh candi Ngawen
Terpencar --- contoh komplek candi Dieng dan Gedongsongo.

Hiasan/Ornamentasi
Hiasan konstruktif = bagian-bagian bangunan yang memberi bentuk/profil. Bagian-bagian ini jika dikurangi atau dihilangkan akan merubah bentuk candi, misal : pilaster, profil, antefik, relung.
Hiasan yang bersifat keindahan. Hiasan ini dapat ditiadakan tanpa merubah bentuk candi/bangunan, misal : relief pada kaki candi, hiasan sulur-suluran pada tubuh candi dan sebagainya.

Bagian-Bagian Candi
Secara vertikal terbagi atas: batur, kaki, tubuh, dan atap
Secara keseluruhan dapat dibedakan sebagai:
Selasar atau tempat berjalan mengelilingi candi
Pagar langkan/balustrade, bagian ini tidak selalu ada dan berfungsi sebagai batas atau pagar tepi dari selasar juga untuk memahatkan relief
Relung/ceruk yang terdapat pada tubuh candi di sisi luar atau pada bilik candi biasanya berisi arca
Bilik candi sebagai tempat meletakkan arca atau lingga
Penampil, bagian ini menempel pada tubuh candi, mempunyai atap dan adakalanya dijumpai terdapat arca didalamnya, sedang hiasanya adalah kala makara yang berfungsi sebagai penolak bala
Jala-dwara, adalah pancuran (pintu air) yang disangga oleh makhluk dari kayangan yang biasa disebut gana.

ARCA-ARCA DALAM CANDI HINDU

Arti dan Fungsinya
Menggambarkan dewa-dewa yang dipuja, mempersonifikasikan dewa yang abstrak.
Sebagai sarana untuk menolong seseorang memusatkan pikirannya ketingkat meditasi yang lebih tinggi.
Sebagai media pemujaan/kebaktian dengan cara mempersembahkan sajian-sajian atau menyelenggarakan upacara di hadapan arca (dewa) tersebut.
Sebagai hiasan bangunan candi atau sebagai pelengkap (biasanya berupa arca dewa-dewa rendahan).

Panteon Hindu
Dewa-dewa dalam agama Hindu sangat banyak dan yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam hubungannya dengan perbuatan arca pengisi candi antara lain:
Brahma
Biasa digambarkan dengan empat muka, empat tangan, dan tata tertutup dalam sikap meditasi, penuh kedamaian.
Wisnu
Secara fisik wisnu digambarkan dengan empat pasang atau lebih tangannya, satu wajah, dan biasanya duduk di atas punggung garuda. Setiap pasang tangannya membawa benda yang merupakan pasangan satu sama lain.
Ciwa
Penggambaran dari Ciwa padat berbentuk manusia dan lingga. Dalam bentuk manusia digambarkan dengan wajah yang seram, empat tangan, dan simbol-simbol yang melambangkan sifatnya.

Durgamahisasuramardini
Biasa digambarkan sedang membunuh Mahisasura, dengan jumlah tangan yang bervariasi, trisula menusuk leher Mahisa. Durga memiliki tiga mata, dada yang membusung, pinggang ramping dan berdiri dalam sikap tribhangga di atas Mahisa.
Ganeca
Berbentuk manusia berkepala gajah dengan perut yang buncit, bertangan empat dan biasanya duduk dalam sikap uttkutikasana.
Agatsya
Digambarkan dengan roman muka yang tua dengan kumis dan jenggot yang panjang/lebat, sikap berdiri, perut buncit dan bertangan dua.
Mahakala dan Nandiswara
Keduanya bertindak sebagai penjaga pintu (dwarapala)
Dikpalakas
Adalah dewa-dewa penguasa arah mata angin, yaitu: Indra, Agni, Yama, Nirruti, Varuna, Vayu, Kubera dan Icana.

SELASAR
Dalam bangunan kuil atau candi kadang-kadang dapat dilihat dilengkapi dengan susunan horisontal mendatar berupa lantai yang bisa sejajar dengan tubuh candi, lebih rendah atau bahkan menempel pada tubuh candi tetapi letaknya tidak di dalam dinding bangunan tetapi mengarah keluar dan mengelilingi bangunan utama tersebut. Pada setiap candi yang memiliki susunan lantai yang semacam ini ukuran lantainya diapit atau terdapat diantara pagar langkan dan dinding bangunan candi (tubuh candi) maka akan terjadi lorong yang mengelilingi bangunan candi itu pula. Lantai atau lorong tersebut dalam arkeologi disebut selasar.
Ditinjau dari fungsi yang dikandung oleh selasar itu dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu : fungsi religius dan fungsi yang berkenaan dengan bangunan candi itu. Fungsi religius dari selasar adalah sebagai sarana jalan untuk melakukan pradaksina dan atau prasawiya dimana dengan melakukan pradaksina atau prasawiya itu dapat kita ikuti atau ketahui jalan cerita yang biasanya dilukiskan dalam bentuk relief pada pagar langkan atau dinding tubuh candi.
Fungsi yang kedua dapat disebutkan sebagai perluasan atau sisa bidang mendatar dari kaki candi atau bagian lain untuk menempatkan pagar langkan.
Kedua fungsi ini belum tentu dimiliki setiap kuil atau candi, karena candi yang berselasar belum tentu berpagar langkan tetapi candi yang berpagar langkan dapat dipastikan mempunyai selasar.
Pada candi yang berselasar tunggal maka dapat diidentifikasikan bahwa selasar itu adalah sisa dari kaki atau batur candi yang kemungkinan memang disengaja disisakan/dibuat untuk maksud tertentu. Sedang untuk candi yang berselasar ganda, selasar dapat merupakan bagian dari batur, bagian tubuh candi yang sengaja disisakan untuk selasar, selain bagian dari kaki candi. Sebagai contoh pada candi Borobudur selasarnya terdapat pada tiap tingkatan sedang pada candi Ciwa di komplek percandian Loro Jonggrang selasarnya hanya satu.
Pada dasarnya selasar dapat dimasukkan sebagai salah satu unsur/bagian dari bangunan candi meskipun bukan sebagai unsur yang pokok karena tidak harus ada pada setiap candi, demikian pula dengan pagar langkan.
Dapat dikatakan bahwa antara selasar dengan pagar langkan itu adalah satu kesatuan, dimana ada pagar langkan tentu ada selasar namun bila ada selasar belum tentu ada pagar langkan. Contoh hal yang kedua adalah pada candi Plaosan Lor, dimana pada selasarnya tidak terdapat pagar langkan.
Suatu hal yang menarik, sementara selasar memiliki peranan yang cukup penting dalam hal-hal tertentu tetapi ternyata tidak semua bangunan yang sejenis menggunakan selasar. Apakah adanya selasar ini hanya karena kehendak si perencana pembangunan candi itu atau ada pertimbangan lain yang lebih dalam, atau kurang perhatikan lagi kepentingannya ?
Demikianlah tinjauan secara sepintas terhadap bentuk fisik dan fungsi selasar sejauh saya ketahui.

PAGAR LANGKAN
Dilihat dari segi letak, pagar langkan adalah merupakan bagian dari candi sehingga tidak lepas dari candi itu sndiri dan secara pasti terdapat pada selasar candi di sebelah sisi luar. Pada umumnya bagian ini terdapat pada kaki candi atau tubuh bagian bawah. Namun demikian tidak semua bangunan candi khususnya untuk kuil memiliki bagian ini.
Bila dilihat dari segi fungsinya, dapat diberikan sedikit keterangan tentang fungsi dari pagar langkan ini. Fungsi yang pertama adalah untuk perluasan dari bidang candi guna menempatkan relief baik sekedar berupa ornamentasi atau cerita-cerita, kedua berfungsi sebagai batas antara daerah yang dianggap suci dengan daerah yang profan.
Bentuk dari pagar langkan ini adalah berupa suatu bangunan dinding yang tidak terlalu tinggi dan mengelilingi bangunan candi tetapi tidak terpisahkan dari candinya karena dihubungkan dengan/oleh selasar. Pada umumnya pagar langkan dibangun tepat di atas ujung selasar yang menjorok ke luar dari tubuh candi. Lain halnya dengan dinding/tembok keliling candi yang letaknya sangat diluar candi sebagai pembatas halaman atau batas komplek candi.
Kalau dilihat bahwa tidak semua candi memiliki pagar langkan, dapat timbul berbagai pendapat mengenai hal ini. Sebagai misal secara struktural pagar langkan adalah salah satu bagian candi tetapi bukanlah bagian yang harus atau selalu ada dengan kata lain hanya sebagai pelengkap namun demikian harus diakui bahwa dengan adanya pagar langkan yang dilengkapi dengan relief cerita atau ornamentasi tersebut kita dapat lebih banyak mengetahui perjalanan hasil kesenian dan keadaan sosial-ekonomi serta keagamaan masyarakat Indonesia pada masa dahulu.
Bila ditinjau dari segi keagamaan, fungsi pagar langkan kurang begitu menunjukkan hal yang nyata selain dengan mengikuti alur cerita relief yang dipahatkan kita dapat mengetahui ritual apakah yang ditimbulkan dari mengikuti alur relief itu, pradaksina (pemujaan dewa) atau prasawya (pemujaan leluhur). Memang dalam hal ini alur relief yang dipahatkan pada pagar langkan sangat membantu kita untuk mengetahui untuk upacara apakah candi itu didirikan.
Dan dari segi relief yang dipahatkan biasanya terlihat relief dengan jenis ‘high relief’. Sedang untuk ceritanya pada umumnya disesuaikan dengan sifat atau latar belakang keagamaan dari candinya.

LINGGA
Bentuk
Lingga berbentuk semacam tugu yang tegak dengan ukuran yang tidak sama satu dengan yang lain, tergantung dari besar lapik/ yoni yang menyangganya.
Struktur lingga terbagi dalam 3 bagian yang merupakan lambang dari masing-masing dewa utama agama Hindu, yaitu : Brahma, Ciwa dan Wisnu. Lambang-lambang itu dalam bentuk salah satu dari sifat yang dimiliki dewa-dewa tersebut. Susunannya sebagai berikut :
Bagian bawah berbentuk segi empat (4) yang disebut Brahmabangga dan menunjukkan sifat dewa Brahma yang memiliki empat muka.
Bagian tengah berbentuk segi delapan (8) yang disebut Wisnubangga dan menunjukkan sifat dewa Wisnu yang dapat ber’awatara’ ke dalam 8 perwujudan atau penjelmaan, dan
Bagian paling atas dan sebagai puncaknya berbentuk setengah lingkaran yang menunjukkan salah satu sifat desa Ciwa yang kekal-abadi, sehingga bagian ini disebut Ciwabangga.
Secara vertikal susunan atau struktur lingga itu juga dapat dihubungkan dengan konsep kosmis yang dianut oleh agama Hindu. Secara sejajar dapat digambarkan sebagai berikut :
Segi empat = Brahmabangga yang disejajarkan dengan Bhurloka yang artinya alam semesta atau Kamadhatu yang maksudnya keinginan/ nafsu duniawi,
Segi delapan = Wisnubangga yang disejajarkan dengan Bhuwarloka atau wujud yang ada saat ini yang identik dengan Rupadhatu,
Bulatan atau setengah lingkaran = Ciwabangga disejajarkan dengan Swarloka atau alam akhirat yang kekal-abadi sehingga disamakan dengan Arupadhatu yang berarti tidak berwujud.

Bentuk lingga yang lain adalah sebagai digambarkan dalam bentuk kelamin laki-laki yang biasanya dilengkapi dengan Yoni sebagai simbol kelamin wanita. Persatuan antara keduanya menyebabakan kesuburan bagi daerah di sekitarnya sehingga akan menjadi makmurlah daerah itu.

Bahan Lingga
Dari lingga-lingga yang telah ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia, dapat diketahui macam bahan yang dipakai untuk membuat lingga tersebut. Bahan yang dipakai adalah :
Lingga batu :
Lingga batu yang berhasil ditemukan ternyata jumlahnya jauh lebih banyak dibanding dengan penemuan arca Ciwa dalam bentuk manusia. Sebagai contoh dapat disebutkan : lingga di candi Gunung Wukir, di candi Badut, di candi Sambisari, di candi Ijo, dan sebagainya.
Lingga kaca
Untuk jenis ini ada sebuah contoh lingga yang terbuat dari bahan kaca yang sekarang disimpan di Museum kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakal prorinsi Jawa Tengah di Prambanan.
Lingga logam :
Sebagai contoh dapat disebutkan temuan lingga emas dari Bumisegoro daerah Borobudur.


Fungsi
Lingga sebagai lambang Ciwa ternyata mempunyai fungsi yang tidak sedikit. Fungsi lingga yang dapat diketahui antara lain :
Lingga sebagai pengganti arca perwujudan yang merupakan aspek dari Ciwa. Lingga semacam ini biasanya diletakkan di dalam bilik sebuah candi yang bersifat Ciwa atau Hindu.
Dalam prasasti Lolei disebutkan bahwa lingga merupakan perwujudan dari dharma raja yang mendirikan dan dharma itu harus tetap dipelihara oleh para penggantinya.
Dari beberapa prasasti yang ditemukan di Kamboja dapat diperoleh petunjuk bahwa kesempatan mendirikan lingga itu erat sekali berhubungan dengan ditaklukanya suatu daerah.
Sejak jaman sejarah yang tertua terdapat kebiasaan, bahwa seorang raja mendirikan lingg auntuk mengukuhkan kedudukanya di atas tahta.
Lingga-lingga lain didirikan untuk memperingati suatu peristiwa penting, seperti upacara ‘manusuk sima’.
Lingga sebagai sarana pemujaan terhadap Ciwa dan atau roh leluhur/raja yang dihormati.

Mitos
Terjadinya lingga diawali dengan kejadian suatu pertikaian antara Brahma dengan Wisnu yang berselisih tentang masalah mana diantara kedudukannya yang berkuasa. Tiba-tiba Ciwa menampakkan diri di belakang mereka dalam bentuk lingga yang pertama/mula-mula, dikelilingi oleh ribuan nyala api, menyerupai ratusan api alam, tidak memiliki permulaan, pertengahan atau akhir dan merupakan yang asli dari semua benda. Pada saat itu Brahma mengubah bentuknya menjadi angsa jantan dan Wisnu mengambil bentuk babi jantan. Mereka masing-masing berusaha mencapai puncak dan dasar dari tiang yang bernyala-nyala itu, tetapi setelah seribu tahun bekerja keras mereka harus mengaku gagal. Menyadari ketidakmampuannya, mereka menjatuhkan diri pada kaki dewa yang tertinggi dan dengan hormat/rendah diri menyampaikan pernyataan hormatnya.


Arti Kata Lingga
Ditinjau dari arti katanya, lingga memiliki arti yang bermacam-macam. Arti yang terkandung antara lain :
Tanda, contoh, alamat, jenis
Perbedaan
Persembahan
Phallus, kemaluan laki-laki.

DEKORASI DAN IKONOGRAFI
Dekorasi
Terminologi dekorasi sebenarnya dapat disejajarkan dengan sebutan-sebutan lain seperti hiasan, ornamentasi. Untuk bangunan keagamaan kuno seperti halnya candi, dekorasi tampaknya merupakan salah satu bagian yang senantiasa dihadirkan sebagai media penghantar pesan secara simbolik.
Dekorasi pada candi dapat dibedakan berdasarkan ukuran-ukuran bentuk, maksud, dan alasan tertentu. Salah satu dekotomi yang dapat diketahui adalah jenis dekorasi itu sendiri. Dari sisi pandang tesebut dekorasi candi dapat dibedakan sebagai dekorasi non naratif dan dekorasi naratif. Dekorasi yang tergolong katagori pertama secara sederhana dapat dikatakan sebagai dekorasi yang semata-mata dimaksudkan sebagai sarana untuk memberi kesan indah dan tidak mengandung sesuatu atau bagian dari cerita tertentu. Sedangkan dekorasi yang tergolong katagori kedua adalah selain sebagai sarana untuk memberi kesan indah bagi candi tetapi juga untuk sarana penyampaian pesan-pesan dari komunikan (seniman) kepada penikmat seni maupun pengamat (komunikan) dalam bentuk relief (gambar timbul) secara baik yang digambarkan secara menyeluruh, sinopsis, atau bahkan per panil saja. Kesemua pesan yang hendak disampaikan para komunikator kepada komunikan ditampilkan dalam bentuk simbol-simbol yang perlu pemahaman tersendiri untuk dapat menangkap makna yang dikandungnya.
Pada umumnya bila dipandang dari nilai atau kadar religiusitasnya, maka kedua jenis dekorasi candi tersebut dapat dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang termasuk profan sedangkan kelompok kedua sakral. Pemahamannya adalah sebagai berikut : (1) dekorasi profan adalah relief (gambar timbul) yang semata-mata untuk kepentingan keindahan, tanpa melibatkan latar belakang religi, (2) dekorasi sakral adalah relief yang ditampilkan dengan latar belakang religi atau memuat kaidah-kaidah religi.
Perlu diingat bahwa dalam rangka membicarakan bangunan candi yang berkaitan dengan suatu agama, maka tidak mungkin untuk begitu saja menerapkan kedua pengelompokkan tersebut. Dalam hal ini akan muncul suatu keadaan dimana suatu relief pada candi tidak dapat dimasukkan ke dalam kedua kelompok tersebut secara tegas. Untuk itu perlu adanya suatu penyelesaian, yaitu dengan memunculkan istilah khusus yang dapat menampung keadaan tersebut. Istlah yang digunakan adalah semi sakral.
Dalam penerapan pengelompokkan jenis dikorasi candi berdasarkan nilai atau kadar religiositasnya tidak dipengaruhi oleh tempat berada atau kedudukan dekorasi yang bersangkutan. Dengan kata lain tidak ada patokan bahwa yang disebut relief sakral harus berada di bagian atap candi, sebagai misal. Dengan demikian semakin jelas bahwa sekalipun bangunan candi itu senantiasa bersifat sakral tetapi tidak berarti bahwa apa saja yang terdapat di atau pada candi tersebut ikut sakral. Candi sebagai media ibadah sudah tentu harus bersifat sakral manakala mengandung nilai-nilai atau kaidah-kaidah religi.
Dengan patokan-patokan tersebut di atas kirana cukup jelas bagi kita untuk mengamati dan kemudian mengelompokkan dekorasi (relief) pada candi secara proporsional. Namun perlu disadari lebih lanjut bahwa untuk melakukan kegiatan tersebut perlu adanya bekal berupa pemahaman sosio religi masyarakat jawa kuno dengan latar belakang agama Hindu dan Budha yang mereka anut sangat diperlukan.
Dalam pengamatan terhadap relief candi perlu juga dicermati mengenai teknik pengungkapan atau visualisasi terutama untuk tokoh atau figur dalam relief cerita (dekorasi naratif). Teknik pengungkapan tokoh pada candi di Jawa ternyata terdapat dua macam, yaitu dalam bentuk naturalis (tiga dimensi) dan bentuk-bentuk deformasi yang bersifat gepeng dalam bentuk relief rendah (dua dimensi). Untuk bentuk yang kedua dapat diberikan gambaran sebagai berikut; wajah digambar otronis quart (¾ pandangan) ; dada dan bahu frontal (pandangan depan) sedang perut dan kaki digambar profil (pandangan samping) (Gudarjono, 1981). Pada umumnya untuk kategori kedua ini banyak dijumpai pada candi-candi di Jawa Timur, sedangkan untuk kategori pertama banyak dijumpai pada candi-candi di Jawa Tengah. Menurut pendapat Edi sedyawati munculnya kedua macam teknik pengungkapan itu adalah dilatar belakangi oleh kondisi bahwa pada waktu di Jawa Tengah berkembang seni rupa naratif berupa relief-relief cerita yang bergaya “klasik” India, maka bersamaan dengan itu hidup suatu pertunjukan yang digiati di kalangan rakyat, disebut mawayang bwat hyan. Pertunjukan rakyat tersebut mungkin menggunakan peran-peran berupa boneka-boneka yang pipih sehingga sebagai hasil saling pengaruh antara keduanya terjadilah dua bentuk di atas.
Selain itu dekorasi pada candi juga dapat dibedakan berdasarkan sifatnya. Dalam hal ini terdapat dua kategori, yaitu dekorasi konstruktif dan dekorasi dekoratif. Kategori pertama dimaksudakan sebagai penyebutan untuk bagian-bagian bangunan yang memberi bentuk/profil dan jika dihilangkan akan mengurangi atau merubah bentuk, misalnya: pilaster, profil, antefik, relung, dan lain-lain. Sedangkan untuk kategori kedua sebagai penyebutan untuk bagian-bagian bangunan yang semata-mata hanya berfungsi sebagi hiasan. Hiasan ini dapat dilepaskan tanpa merubah bentuk bangunan, misalnya: pengisi panil-panil pada kaki, tubuh candi dan sebagainya.
Khusus untuk relief cerita, selain diperlukan pemahan sosio religi agama Hindu Budha masa lampau juga mengikuti atau membacanya. Sebagaimana telah sering disebutkan bahwa dalam mengikuti atau membaca suastu relief cerita dikenal adanya dua terminologi, yaitu pradaksina dan prasawya. Terminologi pertama menjelaskan bahwa untuk membaca relief cerita tertentu harus dengan cara sipembaca berjalan secara menganankan candi (candi berada di sebelah kanan). Sebaliknya untuk terminologi kedua menjelaskasn bahwa untuk relief cerita iu akan dapat dibaca dengan cara sipembaca berjalan secara mengirikan candi (candi berada di sebelah kiri). Selain itu masih ada lagi perbedaan yang prinsipil dari dua terminologi tersebut, yaitu untuk pradaksina ditujukan untuk pemujaan kepada dewa , sedangkan prasawya ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur.
Dalam hal pembacaan relief cerita pada candi dengan menerapkan cara pembacaan di atas tentu saja tidak menjadi masalah bila pada suatu candi hanya terdapat satu cara pembacaan relief. Artinya bahwa candi itu sangat mungkin hanya berfugsi sebagai sarana atau media untuk pemujaan kepada dewa atau roh leluhur saja. Namun dalam kenyataannya, khususnya di Jawa Timur terdapat candi-candi yang memiliki relilef cerita dengan cara pembacaan ganda. Hal ini menimbulkan penafsiran bahwa candi yang bersangkutan memang dimaksudkan sebagai sarana atau media pemujaan baik kepada dewa maupun roh leluhur, misalnya candi penataran.

Ikonografi
Ikonografi merupakan kata jadian dari dua buah kata dari bahasa Yunani, yaitu icon yang berarti sebuah obyek pemujaan dan graphien yang berarti uraian. Kata icon memiliki arti yang sejajar dengan kata image dari bahasa Perancis Kuna dan kata imago dari bahasa Latin juga sejajar dengan kata pratikrti, pratima, wimba dari bahasa Sanskreta.
Untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai salah satu bentuk karya seni keagamaan masa lampau (Hindu Budha) harus mengetahui pula ciri-ciri yang biasa terdapat pada sebuah arca dewa. Dalam hal ini perlu dipahami sebuah naskah keagamaan yang berkaitan dengan maslah ini, yaitu silpasastra. Hal ini penting sebab setiap posisi tangan penuh arti, setiap sikap badan mengingatkan pada suatu suasana tertentu, setiap benda yang dipegang mempunyai arti simbolis tertentu (Gupte, 1972).
Berikut ini akan disajikan beberapa pengetahuan dasar tentang ikonografi yang meliputi: laksana (benda yang sering terlihat pada arca), mudra (sikap tangan), asana (sikap/tempat duduk), wahana (kendaraan dewa), sthana (sikap berdiri). Selain itu juga perlu diberikan penjelasan sedikit mengenai susunan panteon dewa dalam agama Hindu dan Budha.
Laksana sering juga disebut sebagai atribut, yaitu benda-benda yang dipegang tangan, diletakkan pada sandaran arca (stella) yang merupakan ciri khusus bagi dewa yang digambarkan. Dari pengamatan terhadap ciri-ciri khusus ini sudah dapat digunakan sebagai belak untuk melakukan identifikasi terhadap sebuah arca yang sedang diamati.
Mudra lebih didomonir pada arca-arca Budha. Dari pemahaman terhadap sikap tangan sudah dapat diketahui kedudukan arca tertentu dalam suatu candi Budha. Setidaknya ada tujuh macam sikap tangan ynag sayogyanya diketahui, yaitu: (1) abhaya (jangan takut) terdapat pada arca yang menguasai mata angin utara; (2) bhumisparsa (menyentuh bumi) terdapat pada arca yang menguasai mata angin timur; (3) wara (menganugerahkan) terdapat pada arca yang menguasai mata angin selatan; (4) dhyana (meditasi) terdapat pada arca yang menguasai mata angin barat; (5) witarka (memberi pelajaran) terdapat pada arca yang menguasai zenith; (6) dharmacakra (memutar roda dharma) terdapat pada arca wairocana yang tinggal di zenith; (7) jnana (pengetahuan).
Asana sebagai sikap duduk antara lain dikenal: paryankasana, utkutikasana, padmasana dan lain-lain. Sedangkan sebagai tempat duduk antara lain: anantasana, kurmasanapadmasana, makarasana, simhasana dan sebagainya.
Wahana juga merupakan salah satu komponen arca yang dapat menolong di dalam mengidentifikasi tokoh dewa. Contoh wahana adalah nandi untuk Ciwa; garuda untuk wisnu; gajah airawata untuk Indra; kambing untuk agni; angsa untuk Brahma; kerbau hitam untuk Yama dan sebagainya.
Sthana atau sthanaka yang perlu diketahui antara lain: samabhangga (berdiri lurus), abhangga (berdiri dengan tiga lekukan badan), atibhangga (tribhangga yang berlebihan, erotis) dan sebagainya.
Berikut ini akan disajika secara singkat mengenai pantheon dewa Hindu dan Budha. Mengingat jumlah dewa dalam pantheon Hindu sangat banyak sehingga tidak mungkin untuk membicarakan seluruhnya. Dalam kesempatan ini akan dibicarakan beberapa dewa tertentu yang arcanya ditemukan di Indonesia dalam jumlah yang cukup banyak, baik berasal dari suatu gugusan candi atau yang berupa temuan lepas.
Kelompok dewa yang pertama biasa disebut Trimurti terdiri dari Brahma, Ciwa dan Wisnu. Apabila kelompok dewa ini ditempatkan pada satu gugusan candi maka kedudukan mereka adalah sebagai berikut: Brahma di selatan, Ciwa di terngah dan Wisnu di utara. Kelompok yang kedua adalah empat dewa penghuni candi Ciwa yang terdiri dari Ciwa (tengah), Agatsya atau Ciwa mahaguru (selatan), Ganesa (sebalik Ciwa), dan Durgamahisasuramardini (utara). Khusus untuk kelompok kedua ini kadang kedudukan Ciwa di tengahdapat diganti oleh salah satu aspeknya yang berupa lingga.
Aspek Ciwa lain yang sering ditampilkan dalam bentuk arca pada candi adalah mahakala dan nandiswara. Masing-masing ditempatkan pada ceruk dibagian kiri dan kanan pintu masuk relung utama. Sedangkan kelompok dewa yang lain yang disebut dewa pariwara adalah para dewa penguasa arah mata angin yaitu astadikpalaka. Mereka itu adalah: Kuwera (utara), Indra (selatan), Waruna (barat), Isana (timur laut), Agni (tenggara), Nirruti (barat daya) dan Wayu (barat laut).





DAFTAR PUSTAKA

Edi Sedyawati. Pengaruh India pada Kesenian Jawa: Suatu Tinjauan Proses Akulturasi, dalam Soedarsono et al. Pengaruh India, Islam, dan Barat dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Javanologi Dirjenbud Depdikbud, 1985.
Gudaryono. Tinjauan Seni Rupa wayang dari Relief Candi Jawa Timur ke bentuk Wayang Purwa, dalam Darusuprapto. Pokok-Pokok Study Tentang Wayang. Yogyakarta: Badrawada. 1981, hlm 20-23.
Ismail Lutfi, 1983, Catatan Kuliah Kepurbakalaan Indonesia I, Tidak diterbitkan.
Kempers. AJ Bernet, 1959, Ancient Indonesia Art. Cambridge. Massachusetts: Harvard University Press.
Kusen, 1985, Kreativitas dan Kemandirian Seniman Jawa dalam Mengolah Pengaruh Budaya Asing: Study Kasus Tentang Gaya Seni Relief Candi di Jawa Antara Abad IX-XVI Masehi. Yogyakarta. Javanologi Dirjenbud Depdikbud.
Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuno Indonesia, Flores: Ende.
Soekmono, 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya, UI Press.
Siswadhi, 1977. The Lingodbhava on an old Javanese Bronze Lamp, Majalah Arkeologi, halaman 53-56.
Staf Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UGM, 1983. Kepurbakalaan Indonesia, tanpa penerbit.

DESA-DESA KUNO DI MALANG PERIODE ABAD KE- 9--10 MASEHI: Tinjauan singkat berbasis data tekstual prasasti dan toponimi

Ismail Lutfi bin Iskak



Abstract: The use of textual sources in historical study particularly in ancient history is recommanded. In order to be able to uncover the ancient villages from the ninth up to tenth century AD, for example, an assistance of toponimi data of both that are already applied on map and still common in oral tradition is needed. Relocating the ancient villages on map, however, will be beneficial not only in knowing their size, in digging up the potentials but also in recognizing their ability to have acces to the central. In relation to the UURI N0.5 Tahun 1992 tentang BCB, paying attention to them is considered as a necessary conservation.

Key words: ancient Java villages, inscriptions, toponimi, potential, conservation.


Menurut UURI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya khususnya Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa: Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Gayut dengan itu, kiranya beralasan bila lingkungan desa-desa kuna yang masih dapat dilacak keberadaannya, baik yang saat ini tetap dihuni maupun tidak, dimasukkan dalam kategori ini. Alasan semakin kuat bila pada areal desa kuna tersebut terdapat atau ditemukan benda cagar budaya (BCB). Untuk Indonesia implementasi pasal tersebut kiranya bukan hal yang baru. Salah satu contohnya adalah pengakuan terhadap situs bekas kota Majapahit di Trowulan dan ibukota Sriwijaya di Palembang. Sebagai catatan, kedua contoh tersebut merupakan areal yang jauh lebih luas dari sekedar desa (wanwa). Sementara upaya pelacakan yang ditindaklanjuti dengan pengakuan terhadap desa-desa kuna itu hingga saat ini masih sangat jarang dilakukan oleh para peneliti. Dengan latar belakang itu kiranya tulisan ini menjadi pantas untuk dikedepankan.
Sejalan dengan bunyi UU tersebut maka patut diajukan harapan agar dikelak kemudian hari lingkungan desa-desa kuna juga mendapatkan perhatian dan perlakuan yang semestinya, sebagaimana diberikan kepada benda cagar budaya (BCB) baik yang sifatnya mudah berpindah (movable object) maupun berupa monumen dan fitur (features) yang tidak dapat dipindah (unmovable object). Sebagai langkah awal untuk menyongsong gagasan itu, kiranya upaya pemetaan kembali desa-desa kuna berikut ini dapat dianggap sebagai implementasi landasan konseptual itu sekaligus masukan untuk bahan tulisan lebih lanjut.
Apa yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini secara umum adalah sekadar upaya mendayagunakan sumber data tekstual prasasti. Kegunaan langsung dari upaya ini antara lain diharapkan dapat menjadi acuan penentuan lokasi, perkiraan keluasan wilayah dan membuka peluang penggalian potensi yang terkandung didalam desa-desa kuna dimaksud. Lebih dari itu, hasil yang diperoleh dapat didayagunakan sebagai bahan berbagai studi lanjutan.
Dukungan upaya ini, selain berbasis pada informasi dari teks prasasti juga dimanfaatkan data toponimi baik yang terekam pada peta maupun yang masih hidup dalam tradisi lisan di masyarakat. Selain itu, tidak dipungkiri bahwa kebenaran informasi tentang asal-usul prasasti yang bersangkutan, khususnya prasasti batu (linggopala), sangat berguna dalam upaya penentuan kembali lokasi desa kuna. Hal ini dilandasi oleh pendapat penulis bahwa prasasti batu, terutama yang berukuran sangat besar, akan ditempatkan di desa kuna yang dijadikan sima. Pendapat ini diperkuat antara lain oleh keberadaan prasasti Turyyan 929 Masehi yang sampai saat ini masih in situ di sima desa Turyyan yang sudah berganti nama menjadi desa Tanggung.
Adapun secara khusus dimaksudkan agar dari hasil telaah ini dapat diperoleh berbagai informasi atau ‘data’ baru dan berarti, antara lain tentang:
Konfigurasi desa-desa kuna. Yang dimaksud dengan konfigurasi di sini ialah keletakan atau posisi masing-masing desa pada peta geografis dalam satu kesatuan watak. Dari data tekstual diketahui bahwa federasi desa-desa kuna di waktu lampau berada di bawah naungan seorang rake yang menguasai satuan wilayah administratif yang disebut watak atau wisaya. Dengan diketahuinya posisi masing-masing desa kuna tersebut diharapkan dapat dilacak lebih jauh lagi berbagai informasi yang dibutuhkan.
Berbagai potensi yang terkandung dan atau muncul sebagai akibat pemetaan desa-desa kuna tersebut. Potensi yang dimaksud tidak terbatas berupa informasi arkeologis, historis dan kultural tetapi juga berbagai hal yang tergolong sebagai sumber daya (resources).
Perkiraan luas wilayah relatif suatu wanua dan watak. Pengertian luas dalam hal ini tidak dilihat berdasarkan ukuran kilometer persegi melainkan bandingannya dengan desa-desa yang ada sekarang.
Peluang akses antara pusat dan daerah yang ditunjukkan melalui penyediaan fasilitas berupa prasarana maupun sarana.
Suatu landasan berpijak dalam upaya pelestarian dan pendayagunaannya sebagai sumber berbagai kajian, khususnya arkeologi dan sejarah kebudayaan.
Pemilihan batasan kurun waktu dan spasial terbahas didasari oleh tiga alasan, yaitu (1) ketersediaan dan kelayakan sumber data, (2) adanya beberapa periode pemerintahan di wilayah Jawa Timur di masa silam, (3) kerapatan temuan prasasti sejaman di areal yang terbatas, yaitu Malang. Dengan ketiga alasan ini tidak berarti wilayah sekitar Kota Malang tertutup untuk dilibatkan dalam pembahasan. Disadari sepenuhnya bahwa batas suatu wilayah administratif tempo dulu tidak sama dengan masa sekarang, baik untuk taraf desa (wanwa) maupun satuan yang lebih besar. Ditambah munculnya hipotesis bahwa Pu Sindok pada masa awal pemerintahannya tengah melakukan konsolidasi tatanan pemerintahannya dalam rangka mempertahankan hegemoni Kerajaan Medang di tanah Jawa (Sumadio,1977).
Dari data tekstual baik susastra maupun prasasti diperoleh informasi bahwa untuk wilayah administrasi terendah (terkecil) dalam periode Klasik Indonesia disebut dengan beberapa variasi terminologi, yaitu wanua, banua, wanwa, karaman, atau thani (Sedyawati,1985; Atmodjo,1979). Pada masa sekarang wilayah pada taraf demikian mungkin sama dengan desa atau kelurahan. Selanjutnya oleh Sedyawati dikatakan bahwa di dalam thani masih dimungkinkan adanya satuan wilayah yang lebih kecil lagi dan pada masa Kadiri disebut duhan atau duwan. Hal ini juga ditemui pada desa modern yaitu dimilikinya bagian yang lebih kecil disebut dukuh, dusun atau kampung.
Pada tahap selanjutnya, ketika sejumlah wanua sepakat membentuk suatu federasi dan memilih satu orang pimpinannya, maka muncullah satu kesatuan wilayah yang disebut watak, watek atau wisaya. Adapun pemimpinnya adalah seorang rakai, rake, atau rakarayan. Ia dibantu sejumlah pejabat dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun sebagaimana diutarakan Kartakusuma (1985) bahwa tidak semua pejabat rakai adalah pemegang daerah lungguh (apanage). Hanya mereka yang pada nama jabatan ke-rakai-annya disertai dengan nama tempat (toponimi) adalah pemegang kekuasaan pada level watak selebihnya adalah pejabat pemerintahan (Boechari,1977). Pendapat ini cukup memberi kemudahan dalam upaya menentukan keberadaan suatu watak yang selanjutnya dapat direlokasikan di atas peta. Meskipun begitu, masalah tentang benar-tidaknya penafsiran terhadap keberadaan toponimi itu sendiri masih sangat terbuka.


IDENTIFIKASI WATAK (WATEK)
Data tekstual prasasti yang ditemukan (berasal) dari areal terbahas menunjukkan bahwa di wilayah Kota dan Kabupaten Malang sekarang ini, sekitar seribu tahun silam (abad ke-10 Masehi) setidaknya telah terdapat 3 (tiga) watak, yaitu Kanuruhan, Hujung dan Tugaran. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa keberadaan ketiga watak tersebut diketahui berdasarkan informasi tentang adanya pejabat rakai dari tiga daerah lungguh atau apanage ( rakai Kanuruhan, rakai Hujung dan rakai Tugaran). Selain itu juga terdapat informasi tentang sejumlah pejabat rendahan yang bekerja di bawah kewibawaan masing-masing rakai tersebut.
Kemungkinan besar di luar ketiga watak tersebut masih terdapat watak lain mengingat pada beberapa prasasti tulisan nama watak-nya sudah aus. Dengan dukungan informasi yang akurat tentang tempat asalmula sejumlah prasasti batu (linggopala) dapat diperoleh tingkat kepastian yang tinggi terhadap posisi (keletakan) ketiga watak tersebut di atas peta. Salah satu problem yang sulit dipecahkan adalah perihal batas wilayahnya sehingga apa yang dapat dilakukan dalam upaya ini semata-mata adalah asumsi atas dasar data yang dapat diperoleh.
Watak Kanuruhan
Informasi tertua tentang keberadaan watak Kanuruhan setidaknya telah terekam dalam sumber tertulis prasasti Balingawan 813 Saka/891 M dari raja Daksa (Brandes, 1913:22-25). Dalam prasasti tersebut dituliskan adanya seorang pejabat tinggi, yaitu rakryan kanuruhan pu huntu ( Pu Huntu sang penguasa ke-rakai-an (watak) Kanuruhan). Pada masa pemerintahan raja Sindok, jabatan rakai Kanuruhan telah digantikan oleh Dyah Mungpang (OJO XXXVIII).
Menurut de Casparis sebagaimana dikutip Sumadio (1977) dikatakan bahwa Kanuruhan identik dengan Kanjuruhan dalam prasasti Dinoyo 682 Saka/760 M yang sekarang berubah menjadi Kejuron. Menurut hemat penulis, sekalipun tempat yang bernama Kejuron itu berada dalam wilayah watak Kanuruhan, tidak berarti nama Kanjuruhan harus diterima sebagai padanan dari Kanuruhan. Di atas kertas, tulisan keduanya dalam aksara Jawa Kuna menunjukkan perbedaan. Di lain pihak kata dasar kedua nama itupun tidak sama. Apabila antara keduanya dianggap identik maka perlu dipertanyakan apakah masa gelap antara pasca prasasti Dinoyo dan prasasti Balingawan yang meliputi masa 131 tahun dapat begitu saja diabaikan. Menurut hemat penulis bukan tidak mungkin dalam kurun waktu tersebut terjadi dua peristiwa besar, yaitu hancurnya kerajaan Kanjuruhan dan lahirnya ke-rakai-an Kanuruhan pada wilayah yang relatif sama. Harus diakui bahwa munculnya kemungkinan lain sangat terbuka.
Watak Kanuruhan kiranya dahulu berada di areal pusat Kota Malang. Adapun perkiraan luas wilayahnya dapat dilihat dari batas-batasnya yang sejauh ini dapat diasumsikan memiliki tingkat ketepatan tertentu. Batas-batas itu hendak dilihat dari sudut arah mata angin. Sisi timur dan tenggara berbatasan dengan watak Tugaran. Areal perbatasan di sisi timur diperkirakan berada di sekitar Kelurahan Mangliawan atau sedikit ke timur dengan penanda tempat ditemukannya prasasti Balingawan 813 Saka/891 M. Mungkin sekali nama Mangliawan adalah perubahan bunyi dari Balingawan. Di desa ini juga terdapat situs petirtaan Wendit dan situs bekas candi di tengah makam desa.
Perbatasan di sisi tenggara diperkirakan berada di sekitar desa Madyopuro. Batas sisi selatan kemungkinan juga masih termasuk wilayah watak Tugaran namun areal perbatasannya kurang jelas mengingat sampai saat ini belum ditemukan prasasti sejaman dari areal ini. Batas sisi barat mungkin berada di sekitar Desa Dadaprejo. Di desa ini, tepatnya di dusun Ngandat, dahulu ditemukan prasasti Sangguran 846 Saka/924 M (OJO XXXI) dari raja Rake Sumba Dyah Wawa. Prasasti ini sekarang bernama prasasti Minto karena merupakan koleksi Lord Minto House di London, Inggris. Hanya sayang nama watak-nya tidak terbaca karena aus. Sisi utara rupa-rupanya berbatasan dengan watak Hujung, demikian pula kiranya dengan sisi timur laut. Batas sisi utara yang merupakan daerah perbatasan dua watak tersebut mungkin berada di sekitar Kelurahan Polowijen. Perihal nama (toponimi) ini menimbulkan perhatian yang serius. Kiranya tidak salah bila diasumsikan bahwa ia sebagai perubahan bunyi dari Panawijyan atau Panawijen sebagaimana termuat dalam prasasti Wurandungan 865 Saka/943 M (OJO L) dan Kitab Pararaton (Padmopuspito, 1966). Dari kitab ini antara lain diketahui bahwa Ken Dedes berasal dari Desa Panawijen.

Watak Hujung
Watak Hujung secara garis besar berada di sekitar wilayah kecamatan Singosari, Lawang dan Jabung. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa batas sisi selatan adalah kelurahan Polowijen. Batas sisi timur kemungkinan berada di desa Wonorejo. Di desa ini terdapat sebuah dusun (kampung) bernama Blandit. Menurut de Casparis (1940) nama dusun ini identik dengan nama Walandit, Balandit atau Walandet dalam sejumlah prasasti baik dari abad ke-10 maupun abad ke-14. Dusun Blandit ini dahulu memiliki peranan yang besar semasa pemerintahan raja Sindok hingga Hayam Wuruk sebagaimana tertuang dalam prasasti Lingga Suntan 851 Saka/929 M, Muncang 866 Saka/944 M, Jeru-jeru 852 Saka/930 M, Gulung-gulung 851 Saka/929 M dan prasasti Walandit (tanpa tahun) dari masa Majapahit. Untuk batas sisi utara dan barat sampai sekarang belum bisa diperkirakan karena data prasasti yang diharapkan memberi informasi tentang hal itu belum ditemukan. Hanya terdapat catatan kecil, untuk batas sisi barat mungkin berada di lereng timur Gunung Arjuna mengingat keberadaannya di sebelah barat kecamatan Singosari. Mungkin sisi utara watak Hujung berbatasan dengan watak Bawang. Hal ini dapat dijelaskan dengan keberadaan insitu prasasti Cunggrang 851 Saka/929 M di desa Suci kecamatan Gempol kabupaten Pasuruan.

Watak Tugaran
Keberadaan Watak Tugaran diketahui melalui dua indikator, yaitu (1) adanya seorang pejabat rake yang membawahi wilayah Tugaran (rake Tugaran), (2) adanya sejumlah jabatan setingkat dan dua tingkat di bawah rake yang bertugas di wilayah Tugaran (patih i tugaran, rakryan juru gotra i tugaran). Keletakan watak ini setidaknya untuk bagian utara dipercaya berada di kecamatan Kedungkandang, khususnya desa Lesanpuro. Di desa ini terdapat kampung Tegaron yang sangat dekat bunyinya dengan Tugaran. Atas dasar kedekatan unsur bunyi dan tulisannya diperkirakan keduanya adalah sama. Selanjutnya dapat diajukan dugaan bahwa tempat ini dahulu adalah pusat kegiatan pemerintahan watak Tugaran.
Batas wilayah watak Tugaran di sisi utara adalah watak Hujung. Sisi barat dibatasi oleh watak Kanuruhan dengan areal perbatasan yang belum jelas. Adapun sisi timur kiranya dibatasi oleh lereng barat gunung Semeru. Adapun sisi selatan kiranya berbatasan dengan watak lain yang tidak diketahui namanya. Namun keberadaan watak ini didukung oleh keberadaan prasasti Turyyan 851 Saka/929 M di Desa Tanggung Kecamatan Turen, walaupun tulisan nama watak pada prasasti ini aus hingga tidak dapat terbaca tetapi nama wanua-nya, yaitu Turyyan. Nama desa tempat berdirinya prasasti itu sendiri sudah berubah, beruntung nama aslinya tetap bertahan sebagai nama kecamatan. Sayang sekali nama desa Kulowara yang juga tertulis pada prasasti itu sekarang sudah tidak dapat dilacak kembali keberadaannya.


IDENTIFIKASI LOKASI WANUA
Identifikasi wanua dilakukan menurut keberadaannya dalam suatu watak. Dari informasi berbagai prasasti terbahas diperoleh sejumlah nama wanua baik sebagai sima (perdikan), tepi siring (tetangga desa terdekat) maupun wanua biasa. Upaya pelacakan asal keberadaan desa-desa kuno tersebut mengalami banyak kendala. Namun demikian sejumlah desa kuno dapat dikenali kembali keletakannya, sekalipun tidak selalu dikuatkan dengan temuan artefak sejaman. Artefak yang ditemukan pada desa-desa kuno itu kadang berasal dari penanggalan yang lebih muda. Hal ini justru sangat mendukung dugaan bahwa desa tersebut telah dihuni oleh sederet generasi atau dalam waktu yang lama. Di antara desa-desa kuno tersebut, di masa sekarang ada yang sama sekali berubah namanya tetapi ada juga yang tetap atau sedikit berubah. Persoalan ini tidak sulit dipahami mengingat dalam perjalanan waktu perubahan senantiasa terjadi di samping beberapa hal yang tetap sama.

Dalam Wilayah Watak Kanuruhan
Desa-desa kuno di wilayah watak Kanuruhan yang masih dapat dilacak kembali lokasinya yaitu Waharu, Balingawan, Panawijyan, dan Bantaran. Pelacakan ini dilakukan melalui proses mencari kesesuaian antara nama wanua dalam prasasti dengan toponimi baik yang terekam pada peta maupun yang masih hidup dalam tradisi lisan. Selain itu juga dilakukan pelacakan on the spot survey dan wawancara dengan warga masyarakat.
Wanua i waharu mungkin sekarang ini bernama Lowok Waru yang terletak di wilayah kecamatan Lowok Waru. Perubahan nama dari waharu atau waru menjadi Lowok Waru kiranya tidak berlebihan atau menjadi suatu gejala yang sudah lazim. Perubahan semacam ini juga terjadi pada kasus lain misalnya desa Rejo Kidal (tempat beradanya candi Kidal) berasal dari nama Kidal sebagai tempat pen-dharma-an Anusapati yang termuat dalam Kitab Pararaton. Selain penjelasan itu juga terdapat sejumlah desa yang diawali dengan kata Lowok, yaitu Lowok Suruh, Lowok Jati dan Lowok Dara. Kata lowok dalam kosa kata bahasa Jawa (Baru) salah satu artinya adalah bunga.
Adapun wanua i balingawan kiranya telah berubah menjadi Mangliawan, yaitu suatu desa di kecamatan Pakis. Proses perubahan nama ini tidak terjadi secara serta-merta. Sangat mungkin prosesnya diawali dari Balingawan menjadi Malingawan. Seterusnya berubah menjadi Manglingawan dan akhirnya Mangliawan. Posisi desa Mangliawan pada poros Malang–Tumpang yang diketahui memiliki kepadatan tinggalan arkeologi yang cukup tinggi sangat mendukung keberadaannya sebagai salah satu desa kuna. Selain itu di lokasi desa ini juga ditemukan tinggalan ikonografi yang cukup banyak antara lain yang masih tersimpan di Taman Rekreasi Wendit dan di areal makam (kramatan) desa Mangliawan. Dengan demikian tidak berlebihan bila diajukan dugaan bahwa lokasi ini adalah bekas desa kuna yang dulu bernama Balingawan.
Wanua i panawijyan diduga kuat saat ini adalah desa Polowijen sebagaimana disinggung pada pembicaraan tentang watak terdahulu. Perubahan bunyi melalui pertukaran konsonan n dan p pada bahasa Jawa kiranya merupakan peristiwa bahasa yang acap kali terjadi. Adapun perubahan bunyi pada vokal dari a menjadi o adalah disebabkan perubahan pada bunyi abjad (susunan aksara) yang dipakai dari abjad Jawa Kuna menuju Jawa Baru. Selain terdapat kedekatan unsur nama, di desa ini juga terdapat beragam tinggalan arkeologis yang menguatkan dugaan di atas. Tinggalan arkeologis yang masih dapat ditemukan di tempat ini antara lain bekas pemukiman yang kaya dengan pecahan keramik asing dan gerabah, sisa umpak-umpak batu dan arung (saluran air bawah tanah). Nama Panawijyan tertulis pada prasasti Wurandungan 865 Saka dan tertulis sebagai Panawijen pada kitab Pararaton. Dalam Pararaton dilukiskan betapa keberadaan desa ini penting mengingat di sana tinggal atau berada suatu perguruan (mandala/kadewagurwan) yang dipimpin oleh Mpu Purwwa. Ia memiliki seorang putri bernama Ken Dedes. Putri ini di kemudian hari dijadikan istri oleh akuwu Tunggul Ametung yang berkuasa di Tumapel. Dari paparan data yang singkat ini kiranya dapat ditarik suatu hipotesis bahwa wanua i panawijen setidaknya telah dihuni sejak abad ke-10 hingga sekarang.
Wanua i bantaran yang disebut juga alas ing bantaran mungkin adalah kelurahan Bantaran di wilayah kecamatan Blimbing. Melihat adanya kesamaan nama ini kiranya sangat dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan Bantaran adalah tempat yang sama juga. Dari keletakannya yang berdekatan dengan Lowok Waru (wanua i waharu) maka dugaan di atas menjadi semakin kuat.
Selain itu masih terdapat sebuah desa yang bernama Bunulrejo di kecamatan Lowok Waru. Melihat dari namanya kiranya dapat dihubungkan dengan sebuah prasasti dari masa Sindok yang dikeluarkan atas perintah Rakai Kanuruhan, yaitu prasasri Rampal 856 Saka/934 M. Prasasti ini disebut prasasti Kanuruhan oleh Sedyawati (1985). Isi prasasti ini berkenaan dengan pemberian sima oleh Rakai Kanuruhan bagi Pu Bulul dengan kompensasi melakukan kewajiban tertentu. Menarik perhatian adanya nama tempat yang kemungkinan berasal dari nama penerima sima, yaitu Bunul. Nama ini kiranya berasal dari Bulul dengan kasus terjadi pertukaran konsonan l dan n, sebagaimana kasus Panawijen dan Polowijen.
Selain desa-desa tersebut, jauh di wilayah Malang selatan terdapat kecamatan Turen. Nama ini mengingatkan kita pada prasasti Turyyan 851 Saka yang insitu di desa Tanggung Kecamatan Turen. Meskipun nama desa tempat beradanya prasasti itu telah berubah sama sekali tetapi rupanya nama kuna tersebut tetap bertahan sebagai nama kecamatan.

Dalam Wilayah Watak Hujung
Berbeda dengan kondisi data tentang watak Kanuruhan, informasi tentang desa-desa kuna di bawah watak Hujung tidak banyak yang tersisa sehingga hanya sedikit desa yang masih dapat dilacak kembali lokasinya. Sejauh ini desa kuna yang terlacak adalah Balandit, Jeru-jeru dan Lingga Suntan. Sekalipun pada teks prasasti terbaca sejumlah besar nama desa namun hingga saat ini masih sangat sulit untuk mengidentifikasikan lokasi asal mereka.
Perihal keberadaan desa Balandit atau Walandit kiranya pendapat de Casparis (1940) di atas tidak perlu diragukan lagi. Tetapi ada satu pertanyaan besar mengenai desa ini, yaitu mengapa desa yang dahulu memiliki peran sangat penting saat ini tidak memiliki tinggalan kebesarannya kecuali namanya yang masih tersisa. Sementara nama wanua I Jeru-jeru kiranya masih tersisa sebagai desa Jeru yang terletak kira-kira satu kilometer di sebelah utara kota kecamatan Tumpang.
Adapun nama Lingga Suntan sebagai suatu desa kiranya tidak dapat ditemukan lagi pada saat sekarang. Berdasarkan berita asal-usul prasasti Lingga Suntan, yaitu pertama kali ditemukan di desa Lowokjati, ditambah besarnya ukuran batu prasasti tersebut, kiranya dapat diterima pendapat de Casparis (1940) bahwa desa itulah yang semula bernama Lingga Suntan. Selain itu keletakan desa ini tidak terlampau jauh (± 5 km di atas peta) di sebelah barat laut dari dusun Blandit sebagai salah satu wanua i tpi siring-nya.



Dalam Wilayah Watak Tugaran
Mengingat nama suatu watak diangkat dari nama asal daerah lungguh (apanage) sang rake maka dengan singkat dapat diasumsikan bahwa Tugaran digunakan untuk menyebut watak sekaligus wanua.
Wanua i tugaran kemungkinan sekarang tertinggal sebagai dusun Tegaron di Kelurahan Lesan Puro kecamatan Kedung Kandang. Pada Pararaton dilukiskan bahwa Ken Angrok pernah tinggal sementara di desa Tugaran yang berdekatan dengan desa Kabalon. Desa Kabalon ini saat sekarang masih tetap ada di kawasan bukit Buring disebelah timur dusun Tegaron. Dengan demikian di desa ini proses pemukiman juga telah berjalan setidaknya selama 10 abad. Dari keterangan lisan Dr. M. Habib Mustopo (Desember 2000) diketahui bahwa di desa/kelurahan Lesanpuro di mana kampung Tegaron berada memang terdapat sejumlah temuan arkeologis yang sayang sekali saat ini telah banyak yang raib.
Informasi lain tentang desa kuno yang berada dalam wilayah watak ini hingga saat ini belum ditemukan. Tetapi perlu dipertimbangkan keberadaan prasasti Turyyan 851 Saka/929 Masehi di Desa Tanggung Kecamatan Turen. Apabila dapat diajukan perdapat bahwa wilayah watak Tugaran sisi selatan mencakup kecamatan Turen, maka desa-desa yang termuat dalam prasasti Turyyan, yaitu desa Kulowara dan Turyyan, tentunya juga bagian dari watak ini.

POTENSI WANUA-WANUA
Untuk memperoleh gambaran mengenai potensi masing-masing wanua dalam lingkup ruang kajian ini kiranya merupakan suatu pekerjaan yang tidak boleh dikatakan sederhana. Hal ini antara lain dilatari oleh demikian terbatasnya (limited, partial) sumber data yang tersedia sesuai dengan hakekatnya data arkeologis. Meskipun demikian secara garis besar dapat diungkapkan beberapa potensi baik berupa sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya.
Sumberdaya Alam
Dari informasi sejumlah prasasti diketahui bahwa sumberdaya alam yang erat kaitannya dengan mata pencaharian masyarakat desa pada sekitar abad ke-9—10 Masehi adalah lahan bercocok tanam baik secara basah (sawah) maupun kering (tegal) dan hutan (alas) termasuk perairan untuk berburu berbagai jenis binatang dengan berbagai cara. Keterangan mengenai aktivitas bersawah banyak disebut dalam prasasti. Selain itu juga terdapat informasi tentang upaya membendung sungai Jaruman untuk kepentingan pertanian (Prasasti Turyyan 851 Saka).
Sumberdaya manusia yang ada pada masa itu apabila dilihat secara kuantitatif tidak dapat diketahui besarannya. Namun demikian dari prasasti didapatkan informasi bahwa sejumlah besar profesi telah mereka jalani. Dari peranan mereka tentunya telah menghasilkan berbagai produk budaya yang meliputi ipoleksosbud dan hankam. Kiranya dari kajian pada tataran inilah diharapkan diperoleh gambaran jati diri masyarakat kita yang telah mengakar sejak ratusan tahun silam.

Sumberdaya Budaya (Cultural Resource)
Edi Sedyawati (2001) berpendapat bahwa sumberdaya budaya adalah segala sesuatu ataupun penjumlahan dari sesuatu, yang merupakan khasanah bermakna bagi segala macam upaya berkaitan dengan kebudayaan, dalam pengembangannya, perlindungannya, maupun pengkajiannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sumberdaya budaya pada dasarnya dapat dipilah menjadi dua, yaitu berupa karya-karya budaya dalam suatu masyarakat dan berupa manusia-manusia yang menggerakkan kebudayaan, baik sebagai pengarah, pengambil keputusan maupun sebagai kreator dan pelaksana.
Mengacu kepada definisi di atas, dapat diajukan gagasan bahwa sumber data tekstual prasasti memberikan dan menyediakan (provide) informasi mengenai berbagai sumberdaya budaya yang sangat potensial untuk dikaji lebih lanjut dari berbagai sudut pandang dan bidang keilmuan. Namun perlu dicatat bahwa dari dua pilahan di atas, khusus untuk kajian sejarah kuna, hanya informasi tentang karya-karya budaya saja yang dapat dikaji lebih lanjut. Adapun dari unsur manusianya sendiri tentu tidak mungkin dikaji lagi kecuali berupa rekonstruksi dari sebagian kecil (fragmentation, partial) dari yang pernah mereka pikirkan, lakukan dan hasilkan.

PENUTUP
Rekonstruksi desa-desa kuno telah memberikan kontribusi positif bagi kajian-kajian lanjutan terutama aspek kewilayahan dari berbagai bidang keilmuan yang hendak menguak tabir masa silam. Data potensial yang terungkap melalui upaya semacam ini tinggal ditindaklanjuti atau didayagunakan sesuai dengan kebutuhan dalam suatu kajian. Meskipun begitu, upaya ini tetap perlu terus dilakukan dengan serangkaian perbaikan cara kerja sehingga akan didapatkan hasil yang lebih optimal. Akhirnya epigrafi titip pesan kepada para sejarawan kuno agar tidak alergi terhadap bahasa sumber, apapun ia.








DAFTAR RUJUKAN

Atmodjo, M.M. S. Karto. 1979. Struktur Masyarakat Jawa Kuno pada Jaman Mataram Hindu dan Majapahit. Yogyakarta: Puslit dan Studi Pedesaan dan Kawasan UGM.
Boechari. 1977. Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuna ditinjau dari Segi Sejarah dan Arkeologi. Majalah Arkeologi Tahun I No.1.
Brandes, J.L.A. 1913. Oud-Javaansche Oorkonden: Nagelaten transcripties van willen Dr. JLA Brandes Uitgegeven door Dr. NJ Krom. ‘s Hage: M Nijhoff.
Casparis, J.G. de. 1940. Oorkonde uit het Singosarische (Midden 14e Eew A.D.). Inscripties van Nederlansche Indie. Batavia: Kon. Drukkerij de Unie.
Kartakusuma, R. 1985. Rakai. Dalam Satyawati Suleiman (Eds.) Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta: Puslitarkenas.
Padmopuspito, Ki. J. 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi, Terjemahan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Taman Siswa.
Sedyawati, Edi. 1985. Keadaan Masyarakat Jawa Kuna Masa Kadiri dan Masalah Penafsirannya. Dalam Satyawati Suleiman (eds.) Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta: Puslitarkenas.
Sedyawati, Edi. 2001. Pembagian Peranan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Budaya Diskusi Ilmiah Arkeologi XIII, 6 April 2001 di Denpasar.
Sumadio, B. (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Minggu, 01 November 2009

Mudra buda dalam candi Borobudur

Dalam percandian agama Budha arca Budha dapat kita kenali dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.Rambut Budha delalu dilukiskan dengan rambut keriting, kepala seperti ada tenjolan kecil mirip dengan sanggul yang dinamakan Usnisa
2.Di antara keningnya terdapat tonjolan kecil mirip dengan jerawat dinamakan Urna.
3.Memakai jubah sering disebut Dyani Budha
Mudra Pada Arca Budha
1.Wairocana: Penguasa dibagian tengah "Zenith" Mudra Darmacakra sikap tangan memutar roda darma.
2.Aksobya: Penguasa timur, Mudranya Bumisparca yaitu sikap tangan memanggil bumi sebagai saksi "waktu Budha diganggu oleh mara dibawah pohon Bodhi waktu Samadhi"
3.Amoghasidhi: Penguasa Utara, Mudranya abhaya,yaitu sikap tangan Menentramkan
4.Amithaba: Penguasa Barat, Budha dunia sekarang,Mudranya dhyana sikap tangan Samadhi
5.Ratnasambhawa: Mudranya wara sikap tangan memberi anugrah.

Para bodhisatwa selalu digambarkan berpakaian dengan pakaian kebesaranya kalayak seorang raja dengan ciri memegang bunga teratai merah ditangannya laksana materya/

pokok-pokok dalam ajaran Hindu

- arti kata agama berasal dari kata A-Gam
a berarti tidak dan gam berarti pergi,jadi arti keseluruhan dari kata agama itu sendiri adalah sesuatu yang kekal abadi bersifat suci/sareal berdasarkan kepercayaan dan keyakinan.
- Tujuan agama adalah untuk mencapai kebahagiaan yang sejati

Kepala Agama
untuk menjadi seorang kepala agama maka para pinandita harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yaitu:
1.madiksa
2.mapod gala
3.mapurohito
4.mawinten
jika mereka sudah memenuhi syarat maka mereka berhak memakai Genta yang merupakan simbul tali kasta dan mereka telah menjadi pendeta.
namun dalam perjalanan seorang brahmana atau pendeta itupun mengalami beberapa fase yang sering disebut dengan istilah Caturwarna yaitu:
1. Brahmacarin: usia 8-10 tahun dimana seorang calon Brahmana harus berguru paga acaryana diwaktu ini dilaksanakan upacara upayana agar calon Brahmana seperti terlahir kembali dwija dan ia mendapat upawita atau tali kasta, ia harus tunduk terhadap perintah gurunya dan untuk mendapat makan harus dengan jalan meminta-minta dan hasil dari meminta-mintanya di laporkan kepada gurunya untuk dipertanggungjawabkan.
2.Grastha:setelah usia 10-12 tahun maka mereka pulang ketempat ayah ibunya untuk menjalani kewajiban berikutnya untuk dinikahkan, dan pada saat ini mereka telah berhak memberikan saji.
3.Wanaprasta:setelah memiliki cucu pertama maka mereka dan juga istrinya meninggalkan kehidupan keduniawian dan mengundurkan diri kehutan untuk bertapa merenungkan makna hidup sedalam-dalamnya.
4.Sanyasin/panwrajaka:setelah tugas ke tiga usai dengan menyebelah kanankan gunung himalaya dia berjalan tak tentu arah sampai mati.

Jenis-jenis kepala agama dalam agama hindu dan pengertianya
1.Brahmana:orang yang tinggi batinya ahli dalam ilmu kemoksaan dan kenirwanaan
2.Danghyang:pendeta keturunan Brahmanawangsa
3.Bhagawan/rsi:orang yang telah bersih batinya dan tak lagi memikirkan keduniawian serta tajam pandangannya "waskito"
4.Pedanda:orang yang ahli dalam weda,mantra untuk orang keturunan Brahmanawamgsa
5.Mpu:untuk gelar bagi pendeta yang menjadi guru raja-raja kususnya guru dalam bidang keagamaan.
6.Wiku:orang yang ahli dalam ilmu kebatinan dan mengutamakan peri kemanusiaan dan peri keadilan
7.Sangguru:pengajar agama pada umumnya dan memimpin upacara agama
8.Biksu:pendeta yang manunggal dengan Ida Sang Hyang widi wase
9.Dukuh:seorang pendeta yang bertapa dan menetap disuatu hutan
10.pamangku:seorang yang bertugas melakukan upacara agama dipura atau tempat-tempat suci mereka boleh memakai genta atau tidak tergantungbesar kecilnya upacara
11.Dalang:seorang yang ahli dalam mempertunjukan wauang dan juga ahli dalam ilmu batin berhak membuat tirta pengklukatan yaitu air suci yang berfungsi membersihkan dasamala lahir batin bagi yang membutuhkan.
12.Balian:orang yang terkemuka dalam masyarakat/desa dan ahli dalam ilmu kebatinan atau ketuhanan kepadanyalah biasanya masyarakat bertanya mengenai keagamaan tatasusila terkadang juga tentang obat-obatan.